Cari Blog Ini

Senin, 14 Maret 2011

Adakah jadwal sholat abadi ? dan waktu-waktu sholat fardhu dan sunnah



Shalat itu adalah amalan ibadah yang khusus, dituntunkan dengan cara-cara yang khusus dan dikerjakan waktu-waktu yang khusus pula. Lebih-lebih lagi berkenaan dengan shalat yang wajib, Allah dan Rasul-Nya telah mengajarkan adanya waktu-waktu tertentu untuk melaksanakan kewajiban shalat ini. Allah Ta’ala menegaskan dalam firman-Nya:“Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban atas kaum Mu’minin dalam waktu-waktu yang tertentu.” (An-Nisa’: 103)
Juga Allah Ta’ala berfirman:
Dirikanlah shalat pada waktu tergelincirnya matahari sampai kelamnya malam dan di waktu terbitnya fajar. Sesungguhnya shalat di waktu fajar itu adalah saat amalan shalat yang dipersaksikan oleh para Malaikat. Dan di waktu malam hari hendaknya kamu tunaikan shalat tahajjud sebagai kewajiban tambahan atas kamu hai Muhammad. Semoga dengan kamu menunaikan kewajiban ini, Tuhanmu akan membangkitkan engkau pada kedudukan yang terpuji.” (Al-Isra’: 78 – 79)
Demikianlah Allah menegaskan bahwa kewajiban shalat itu berkaitan dengan waktu-waktu tertentu sebagaimana yang telah diatur oleh Syari’ah Islamiyah. Sehingga kepastian telah masuk waktu pelaksanaan shalat itu adalah syarat sahnya shalat.
Rasulullah shallallahu `alaihi wa aalihi wa sallam sangat menganjurkan untuk kita mengerjakan shalat fardlu itu pada waktunya. Hal ini sebagaimana dinyatakan beliau dalam sabdanya berikut ini:Rasulullah pernah ditanya: “Amalan apakah yang paling dicintai oleh Allah Ta`ala?” Beliau menjawab: “Amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah mengerjakan shalat fardlu tepat pada waktunya.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahihnya bab Fadlu Shalat fi Waqtiha dari hadits Ibu Mas’ud nomor 527, dan Muslim dalam Shahihnya nomor 85 dan ini lafadh Al-Bukhari).
Shalat fardlu itu adalah shalat lima waktu dalam setiap harinya dan shalat Jum’at dalam setiap pekannya serta shalat `Idain (yakni shalat dua Hari Raya, yaitu Iedul Fitri dan Iedul Adl-ha) dalam setiap tahunnya. Sedangkan waktu-waktu ibadah dalam Islam, dilakukan dengan cara ru’yat dan bukan dengan ilmu hisab. Cara ru’yat itu ialah melihat gerak-gerik matahari dan bulan dengan mata telanjang. Seperti memulai ibadah puasa Ramadlan dan mengakhirinya, dilakukan dengan melihat hilal (yakni bentuk bulan tanggal satu). Demikian pula shalat dengan ru’yat (melihat) sinar matahari dan bayang-bayangnya. Namun Ummat Islam setelah berkenalan dengan kalangan kaum Shabiin (yakni para penyembah bintang), maka mulailah mereka mengadopsi kebiasaan ibadah kaum tersebut dengan menggagas ilmu perbintangan (yakni astronomi) dan jadilah apa yang dinamakan ilmu hisab, yaitu ilmu untuk menetapkan tanggal satu Ramadlan, satu Syawwal dan bahkan untuk menetapkan waktu-waktu shalat dan terbitlah apa yang dinamakan jadwal abadi waktu shalat.
Demikianlah sejarah bergesernya penetapan waktu ibadah yang ada di kalangan Ummat Islam. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menerangkan: “Maka ummat ini disifati dengan: ‘Meninggalkan sistem penulisan dan perhitungan’ dalam menentukan waktu-waktu ibadah dan dalam menentukan waktu-waktu Hari Raya mereka. Dimana ummat-ummat yang lainnya menentukannya dengan sistem perhitungan dan penulisan itu. Adapun ketentuan waktu-waktu ibadah dan hari raya untuk ummat ini dilakukan dengan cara tersendiri yaitu ru’yah (yakni melihat dengan mata telanjang, pent) sebagaimana hal ini telah ditegaskan dalam beberapa hadits yang artinya:
“Berpuasalah dengan melakukan ru’yah terhadap bulan dan akhirilah ibadah puasa Ramadhan dengan melakukan ru’yah.” Dalam riwayat lain beliau menyatakan: “Berpuasalah dari terbitnya hilal tanggal satu Ramadlan sampai terbitnya hilal tanggal satu Syawal.
Syaikhul Islam menambahkan: “Hadits-hadits ini menjadi dalil bagi ijma’ (apa yang telah disepakati) para Ulama Islam (kecuali sebagian Ulama belakangan yang menyelisihi kesepakatan tersebut), bahwa waktu-waktu memulai puasa dan mengakhirinya serta penentuan waktu-waktu ibadah yang lainnya dilakukan dengan ru’yah dalam batas yang memungkinkan dan “tidak dengan menulis dan menghitung” sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang non-Islam dari kalangan Romawi, Persia, Qibthi (Mesir), dan India, juga Ahlul Kitab dari kalangan Yahudi dan Nashara.” Demikian Syaikhul Islam menerangkan. (Lihat Iqthidla’ As-Shirathil Mustaqim li Mukhalafah Ashabil Jahim, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, jilid 1 hal. 254 – 255, Maktabah Ar Rusyd Riyadl, cet. Th. 1411 H / 1991 M)
As-Sunnah An-Nabawiyah telah menjelaskan secara rinci tentang penetapan waktu shalat dengan cara ru’yah. Beberapa hadits shahih telah diriwayatkan dalam perkara waktu shalat-shalat fardlu dalam sehari semalam. Antara lain sebagaimana yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dalam Sunannya dari Jabir bin Abdullah radliyallahu `anhuma. Beliau menceritakan bahwa malaikat Jibril mendatangi Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa aalihi wa sallam, sembari menyatakan kepada beliau: “Bangunlah untuk shalat.” Maka beliau pun mengerjakan shalat Dluhur ketika mulai tergelincirnya matahari. Kemudian Jibril datang lagi di waktu Ashar, sembari menyatakan kepada beliau: “Bangunlah untuk shalat!” Maka shalatlah beliau ketika bayangan benda itu sebesar dan sepanjang benda itu. Kemudian Jibril datang lagi kepada beliau di waktu Maghrib, sembari menyatakan: “Bangunlah untuk shalat!” Maka shalatlah beliau dengan shalat Maghrib ketika telah pasti tenggelamnya matahari. Kemudian Jibril datang di waktu Isya’, sembari menyatakan: “Bangunlah untuk shalat!” Maka beliau pun shalat Isya’ di waktu telah hilangnya cahaya merah di kaki langit sebelah barat. Kemudian Jibril datang pada waktu fajar (yakni Shubuh), sembari menyatakan: “Bangunlah untuk shalat!” Maka shalatlah beliau pada waktu mulai tampaknya sinar fajar atau beliau menyatakan: “Mulai terbitnya fajar.” Kemudian esok harinya Jibril datang lagi kepada beliau di waktu Dluhur, maka Jibril menyatakan kepada beliau: “Bangunlah engkau untuk shalat.” Maka beliau pun shalat Dluhur ketika bayangan segala sesuatu sebesar atau sepanjang benda itu. Kemudian Jibril datang di waktu Ashar, sembari beliau menyatakan: “Bangunlah untuk shalat.” Maka beliau pun shalat Ashar pada waktu bayangan segala sesuatu dua kali lipat dari ukuran bendanya. Kemudian Jibril datang kepada beliau di waktu Maghrib persis seperti waktu kemarinnya dan beliaupun mengerjakan shalat Maghrib seperti kemarin. Kemudian Jibril datang kepada beliau pada waktu Isya’, sembari menyatakan: “Bangunlah engkau untuk shalat.” Maka beliaupun shalat Isya’ pada waktu telah lewat tengah malam, atau beliau katakan: “Telah masuk waktu dua pertiga malam.” Kemudian datanglah Jibril di waktu telah terbitnya fajar, ketika keadaan langit telah sangat terang, sembari menyatakan: “Bangunlah untuk shalat.” Maka beliaupun shalat Subuh di waktu yang demikian. Kemudian Jibril menyatakan kepada beliau: “Waktu shalat itu adalah di antara dua waktu tersebut (yakni di antara waktu-waktu shalat di hari pertama kedatangan Jibril kepada beliau dan antara waktu-waktu shalat di hari kedua kedatangan Jibril kepada beliau, pent). Demikian hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya (Lihat Musnad Imam Ahmad bin Hanbal hadits ke 14592). At-Tirmidzi meriwayatkan dalam Sunannya dan beliau menerangkan: Muhammad bin Ismail Al-Bukhari berkata: “Riwayat yang paling shahih dalam perkara waktu-waktu shalat adalah riwayat Jabir bin Abdullah ini.” (Lihat Sunan At-Tirmidzi hadits ke 150 Kitab Mawaqitus Shalah `an Rasulillah).
A. WAKTU-WAKTU SHOLAT FARDLU/WAJIB
Shalat dianggap sah dikerjakan apabila telah masuk waktunya. Dan shalat yang dikerjakan pada waktunya ini memiliki keutamaan sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
“Sesungguhnya shalat itu merupakan kewajiban yang ditetapkan waktunya bagi kaum mukminin.” (An-Nisa`: 103)
أَقِمِ الصَّلاَةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْءَانَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْءَانَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan dirikan pula shalat subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan oleh malaikat.” (Al-Isra`: 78)
Shalat dianggap sah dikerjakan apabila telah masuk waktunya. Dan shalat yang dikerjakan pada waktunya ini memiliki keutamaan sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
سَأَلْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم: أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللهِ؟ قَالَ: الصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا. قَالَ: ثُمَّ أَيُّ؟ قَالَ: بِرُّ الْوَالِدَيْنِ. قَالَ: ثُمَّ أَيُّ؟ قَالَ: الْجِهَادُ فِي سَبِيْلِ اللهِ
Aku pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Amal apakah yang paling dicintai oleh Allah?” Beliau menjawab, “Shalat pada waktunya.” “Kemudian amalan apa?” tanya Ibnu Mas`ud. “Berbuat baik kepada kedua orangtua,” jawab beliau. “Kemudian amal apa?” tanya Ibnu Mas’ud lagi. “Jihad fi sabilillah,” jawab beliau. (HR. Al-Bukhari no. 527 dan Muslim no. 248)
Sebaliknya, bila shalat telah disia-siakan untuk dikerjakan pada waktunya maka ini merupakan musibah karena menyelisihi petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, seperti yang dikisahkan Az-Zuhri rahimahullahu, ia berkata, “Aku masuk menemui Anas bin Malik di Damaskus, saat itu ia sedang menangis. Aku pun bertanya, ‘Apa gerangan yang membuat anda menangis?’ Ia menjawab, ‘Aku tidak mengetahui ada suatu amalan yang masih dikerjakan sekarang dari amalan-amalan yang pernah aku dapatkan di masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali hanya shalat ini saja. Itupun shalat telah disia-siakan untuk ditunaikan pada waktunya’.” (HR. Al-Bukhari no. 530)
Ada beberapa hadits yang merangkum penyebutan waktu-waktu shalat. Di antaranya hadits Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:
سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ وَقْتِ الصَّلَوَاتِ، فَقَالَ: وَقْتُ صَلاَةِ الْفَجْرِ مَا لَمْ يَطْلُعْ قَرْنُ الشَّمْسِ الْأَوَّلِ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الظُّهْرِ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ عَنْ بَطْنِ السَّمَاءِ مَا لَمْ يَحْضُرِ الْعَصْرُ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ وَيَسْقُطْ قَرْنُهَا الْأَوَّلُ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الْمَغْرِبِ إِذَا غَابَتِ الشَّمْسُ مَا لَمْ يَسْقُطِ الشَّفَقُ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang waktu shalat (yang lima), beliau pun menjawab, “Waktu shalat fajar adalah selama belum terbit sisi matahari yang awal. Waktu shalat zhuhur apabila matahari telah tergelincir dari perut (bagian tengah) langit selama belum datang waktu Ashar. Waktu shalat ashar selama matahari belum menguning dan sebelum jatuh (tenggelam) sisinya
yang awal. Waktu shalat maghrib adalah bila matahari telah tenggelam selama belum jatuh syafaq1. Dan waktu shalat isya adalah sampai tengah malam.” (HR. Muslim no. 1388)
Demikian pula hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ لِلصَّلاَةِ أَوَّلاً وَآخِرًا، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ صَلاَةِ الظُّهْرِ حِيْنَ تَزُوْلُ الشَّمْسُ وَآخِرُ وَقْتِهَا حِيْنَ يَدْخُلُ وَقْتُ الْعَصْرِ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ صَلاَةِ الْعَصْرِ حِيْنَ يَدْخُلُ وَقْتَهَا وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ تَصْفَرُّ الشَّمْسُ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْمَغْرِبِ حِيْنَ تَغْرُبُ الشَّمْسُ وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ يَغِيْبُ الْأُفُقُ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْعِشَاءِ الْآخِرَةِ حِيْنَ يَغِيْبُ الْأُفُقُ وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ يَنْتَصِبُ اللَّيْلُ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْفَجْرِ حِيْنَ يَطْلُعُ الْفَجْرُ وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ
“Sesungguhnya shalat itu memiliki awal dan akhir waktu. Awal waktu shalat zhuhur adalah saat matahari tergelincir dan akhir waktunya adalah ketika masuk waktu ashar. Awal waktu shalat ashar adalah ketika masuk waktunya dan akhir waktunya saat matahari menguning. Awal waktu shalat maghrib adalah ketika matahari tenggelam dan akhir waktunya ketika tenggelam ufuk. Awal waktu shalat isya adalah saat ufuk tenggelam dan akhir waktunya adalah pertengahan malam. Awal waktu shalat fajar adalah ketika terbit fajar dan akhir waktunya saat matahari terbit.” (HR. At-Tirmidzi no. 151 dan selainnya.
1 Cahaya kemerah-merahan yang terlihat di arah barat setelah matahari tenggelam
Asy-Syaikh Albani rahimahullahu berkata tentang hadits ini, “Sanad hadits ini shahih di atas syarat Syaikhani (Al-Bukhari dan Muslim). Dishahihkan oleh Ibnu Hazm, namun oleh Al-Bukhari dan selainnya disebutkan bahwa hadits ini mursal. Pernyataan ini dibantah oleh Ibnu Hazm dan selainnya. Dalam hal ini Ibnu Hazm benar, terlebih lagi hadits ini memiliki syahid dari hadits Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma.” (Ats-Tsamarul Mustathab fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, 1/56 dan Ash-Shahihah no. 1696)
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَمَّنِي جِبْرِيْلُ عليه السلام عِنْدَ الْبَيْتِ مَرَّتَيْنِ، فَصَلَّى بِيَ الظُّهْرَ حِيْنَ زَالَتِ الشَّمْسُ وَكَانَتْ قَدْرَ الشِّرَاكِ، وَصَلَّى بِيَ الْعَصْرَ حِيْنَ كَانَ ظِلُّهُ مِثْلَهُ، وَصَلَّى بِيَ –يَعْنِي الْمَغْرِبَ– حِيْنَ أَفْطَرَ الصَّائِمُ، وَصَلَّى بِيَ الْعِشَاءَ حِيْنَ غَابَ الشَّفَقُ، وَصَلَّى بِيَ الْفَجْرَ حِيْنَ حَرُمَ الطَّعَامُ وَالشَّرَابُ عَلَى الصَّائِمِ، فَلَمَّا كَانَ الْغَدُ صَلَّى بِيَ الظُّهْرَ حِيْنَ كَانَ ظِلُّهُ مِثْلَهُ، وَصَلَّى بِيَ الْعَصْرَ حِيْنَ كَانَ ظِلُّهُ مِثْلَيْهِ، وَصَلَّى بِيَ الْمَغْرِبَ حِيْنَ أَفْطَرَ الصَّائِمُ، وَصَلَّى بِيَ الْعِشَاءَ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ وَصَلَّى بِيَ الْفَجْرَ فَأَسْفَرَ، ثُمَّ الْتَفَتَ إِلَيَّ فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، هَذَا وَقْتُ الْأَنْبِيَاءِ مِنْ قَبْلِكَ وَالْوَقْتُ مَا بَيْنَ هَذَيْنِ الْوَقْتَيْنِ
“Jibril q mengimamiku di sisi Baitullah sebanyak dua kali2. Ia shalat zhuhur bersamaku ketika matahari telah tergelincir dan kadar bayangan semisal tali sandal. Ia shalat ashar bersamaku ketika bayangan benda sama dengan bendanya. Ia shalat maghrib bersamaku ketika orang yang
2 Yakni dalam dua hari untuk mengajariku tata cara shalat dan waktu-waktunya. (‘Aunul Ma’bud, Kitab Ash-Shalah, bab fil Mawaqi
puasa berbuka3. Ia shalat isya bersamaku ketika syafaq telah tenggelam. Ia shalat fajar bersamaku ketika makan dan minum telah diharamkan bagi orang yang puasa4. Maka tatkala keesokan harinya, Jibril kembali mengimamiku dalam shalat zhuhur saat bayangan benda sama dengan bendanya. Ia shalat ashar bersamaku saat bayangan benda dua kali bendanya. Ia shalat maghrib bersamaku ketika orang yang puasa berbuka. Ia shalat isya bersamaku ketika telah berlalu sepertiga malam. Dan ia shalat fajar bersamaku dan mengisfar5kannya. Kemudian ia menoleh kepadaku seraya berkata, “Wahai Muhammad, inilah waktu shalat para nabi sebelummu dan waktunya juga berada di antara dua waktu yang ada6.” (HR. Abu Dawud no. 393, Asy-Syaikh Albani rahimahullahu berkata tentang hadits ini dalam Shahih Abi Dawud, “Hasan shahih.”)
Pada pembahasan mengenai waktu-waktu shalat ini kami akan memulai dari shalat subuh terlebih dahulu walaupun kebanyakan ulama memulainya dari shalat zhuhur. Wallahul muwaffiq ‘ilash shawab.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata, “Sekelompok pengikut mazhab kami (mazhab Hambali) seperti Al-Khiraqi dan Al-Qadhi pada sebagian kitabnya serta selain keduanya, memulai dari waktu shalat zhuhur. Di antara mereka ada yang memulai dengan shalat fajar/subuh seperti Abu Musa, Abul Khaththab, dan Al-Qadhi pada satu pembahasan, dan ini yang lebih bagus karena shalat wustha (shalat pertengahan) adalah shalat ashar. Shalat ashar bisa menjadi shalat wustha apabila shalat fajar merupakan shalat yang awal7.” (Al-Ikhtiyarat dalam Al-Fatawa Al-Kubra, 1/45)

Senin, 07 Maret 2011

Ya Alloh inilah permohonanku

Tersungkur aku
Dalam sujud panjangku
Memohon dihadapan-Mu

Ya Alloh .....
Inilah aku...
makhluk yang lemah lagi hina
terkubur dalam lumpur dosa-dosa

Malu...... aku sungguh menghadap-Mu
kalau bukan karena ke Maha Pemurahan-Mu

Malu...... aku sungguh menengadah pada-Mu
Kalau bukan karena engkau Yang Maha Kaya

Malu...... aku sungguh meneteskan air mata
Jika bukan lantaran besarnya kasih sayang-Mu

Ya Alloh.....
Inilah aku....
Hamba-Mu yang kecil lagi sombong
Memelas mengharap ampunan
Kafarah atas dosa-dosa
Menangis dalam hening malam
Mengais setitik luasnya rahmat-Mu

Ya Alloh kurniakanlah tuk hamba-Mu ini
Secercah hidayah
Setetes ampunan
Dari luasnya lautan rahmat dan Ampunan-Mu


Betapa agung firman-Mu dalam sabdanya :
Wahai hamba-Ku sesungguhnya kalian semua dalam kesesatan kecuali yang Aku beri hidayah
Wahai hamba-Ku

Minggu, 06 Maret 2011

Saat Harus Memulai

Menjadi yang terbaik
Berharap jadi yang terbaik
Mengawali dengan yang terbaik
Mengakhiri dengan yang terbaik

Manusia Semua berharap agar menjadi lebih baik
Bermimpi jadi yang paling sempurna

Namun berapa yang memulai dengan yang baik
Dari yang terkecil
Dari yang Paling remeh
Dari yang paling ringan
Dari yang paling mudah

Makan yang halal dan toyyib
Bertutur yang lembut dan santun
Diamnya menyimpan dzikir hati
Ucapannya adalah amar ma'ruf
Langkahnya adalah jengkal-jengkal pahala
Waktunya adalah kumpulan pundi-pundi kebaikan
Ajalnya adalah khusnul khotimah

Semuanya mudah asal kita
Mengikuti uswah kita
Rosul tauladan kita
Muhammad bin Abdillah Sholallohu 'Alaihi Wasallam
Beliau pernah bertutur dalam sabdanya :
"Tamaklah kamu atas apa yang memberikan manfaat untukmu
Mohonlah pertolongan pada Alloh Ta'ala
dan janganlah kamu menjadi lemah
jika musibah menimpamu maka jangan sekali-kali kamu berkata
"seandainya aku begini atau bergitu,
tapi katakanlah "Qodarulloh wamaa syaa'a fa'ala
karena sesungguhnya kata "seandainya"
hanya akan membuka amalan syaithan. (HR.Muslim)